Islam adalah Rahmatan lil ‘alamin

isfahangraphic1332Bissmillah..
Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, akan tetapi sepertinya banyak yang belum mengerti arti sesungguhnya dari makna tersebut. Banyak sekali yang menyimpangkan perngertian tersebut sehingga berpengaruh sekali dalam hal aqidah umat islam itu sendiri. Dalam Al-Quran sendiri sudah disinggung mengenai rahmatan lil ‘alamin yakni dalam surat Al-anbiyah: 107,

وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةًۭ لِّلْعَٰلَمِينَ

 
107. dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Allah menurunkan Nabi Muhammad untuk menjadi rahmatan lil ‘alamin, yang artinya Islam adalah rahmatan lil ‘alamin yakni rahmat bagi semesta alam, untuk semua umat manusia, untuk semua isi dalam alam semesta alam ini.
Sebagian orang secara sengaja ataupun tidak sengaja (karena pemahaman Islamnya yang tidak dalam), sering memaknai ayat tersebut diatas secara menyimpang. Mereka mengartikan rahmat Islam harus tercermin dalam suasana sosial yang sejuk, damai dan toleransi dimana saja Islam berada, apalagi sebagai mayoritas. Sementara dibaliknya sebenarnya ada tujuan lain atau kebodohan lain yang justru bertentangan dengan Islam itu sendiri, misalnya memboleh-bolehkan ucapan natal dari seorang Muslim terhadap umat Nasrani.
Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin adalah tujuan bukan proses, islam boleh menghormati agama lain akan tetapi ada tujuanya bukan pada peosesnya lah yang penting.
Masih ingatkah dulu pada kisah nabi Muhammad dalam menjalankan dakwahnya, apakah melalui kekerasan terhadap umat nasrani? Ya kecuali terhadap orang-orang yang benar menentang Rasulullah. Akan tetapi rasulullah selalu mengajarkan akhlaq yang baik kepada umat yang lain yang kemudian tujuan tersebut yakni agar orang tersebut masuk islam.
Sebuah contoh kisah Rasulullah yang mungkin sering di degar, sewaktu Rasulullah berangkat ke masjid untuk menjalankan ibadah shalat wajib, setiap diperjalanan Rasulullah bertemu dengan orang nasrani yang bila papasan selalu Rasulullah diberi caci-maki, lemparan kotoran, diludahi dan segala macam dalam bentuk kehinaan. Akan tetapi dalam hal ini Rasulullah tidak samasekali lantas bosan untuk berangkat ke masjid, setiap ingin shalat Rasul selalu membersihkan kotoran yang menempel di badan Beliau di masjid. Hari berganti hari selalu dengan seperti itu. Pada suatu hari Rasul dengan heran berangkat ke masjid tidak bertemu dengan orang nasrani yang biasanya melempari Beliau, kemudian bertanya kepada sahabatnya di masjid dan katanya orang tersebut sedang sakit. Lalu kemudian Rasul berniat ingin menjenguk orang tersebut, dan berita itu sampai pada orang nasrani. Orang tersebut benar-benar takut, dia takut bahwasanya inilah saatnya Nabi Muhammad melakukan balasdendam terhadapnya. Akan tetapi ternyat fikiran orang tersebut salah, Nabi Muhammad menjenguk dan kemudian mendo’akan orang itu supaya sehat kembali. Atas akhlaq surti teladan yang baik dan percaya bahwasanya dialah Rasull Allah, kemudian orang tersebut mengucap shahadad dan masuk islam.
Dalam kisah itulah kita bisa ambil kesimpulan apa sebenarnya maksud dati rahmatan lil ‘alamin. Ya, rahmaran lil ‘alamin adalah tujuan, bukan proses.
Semoga ini bermanfaat, aamiin…

Dua orang saling membunuh yang masuk syurga

Dan dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: “Allah Subhanahu wa Ta’ala tertawa (merasa senang) kepada dua orang yang seorang membunuh pada lainnya, kemudian keduanya dapat memasuki syurga. Yang seorang itu berperang fisabilillah kemudian ia dibunuh, selanjutnya Allah menerima taubat atas orang yang membunuhnya tadi, kemudian ia masuk Islam dan selanjutnya dibunuh pula sebagai seorang syahid.” (Muttafaq ‘alaih)

Taubatnya wanita pezina

Dari Abu Nujaid yaitu Imran bin Hushain al-Khuza’i radhiallahu ‘anhuma bahwasanya ada seorang wanita dari suku Juhainah mendatangi Rasulullah s.a.w. dan ia sedang dalam keadaan hamil karena perbuatan zina. Kemudian ia berkata: “Ya Rasulullah, saya telah melakukan sesuatu perbuatan yang harus dikenakan had (hukuman) maka tegakkanlah had itu atas diriku.” Nabiyullah s.a.w. lalu memanggil wali wanita itu lalu bersabda: “Berbuat baiklah kepada wanita ini dan apabila telah melahirkan -kandungannya, maka datanglah padaku dengan membawanya.” Wali tersebut melakukan apa yang diperintahkan. Setelah bayinya lahir -lalu beliau s.a.w. memerintahkan untuk memberi hukuman, wanita itu diikatlah pada pakaiannya, kemudian dirajamlah. Selanjutnya beliau s.a.w. menyembahyangi jenazahnya. Umar berkata pada beliau: “Apakah Tuan menyembahyangi jenazahnya, ya Rasulullah, sedangkan ia telah berzina?” Beliau s.a.w. bersabda: “Ia telah bertaubat benar-benar, andaikata taubatnya itu dibagikan kepada tujuhpuluh orang dari penduduk Madinah, pasti masih mencukupi. Adakah pernah engkau menemukan seorang yang lebih utama dari orang yang suka mendermakan jiwanya semata-mata karena mencari keridhaan Allah ‘Azzawajalla.” (Riwayat Muslim)

Kisah taubat seseorang yang membunuh 100 orang

Dari Abu Said, yaitu Sa’ad bin Sinan al-Khudri r.a. bahwasanya Nabiyullah s.a.w. bersabda: “Ada seorang lelaki dari golongan umat yang sebelummu telah membunuh sembilan puluh sembilan manusia, kemudian ia menanyakan tentang orang yang teralim dari penduduk bumi, lalu ia ditunjukkan pada seorang pendeta. Iapun mendatanginya dan selanjutnya berkata bahwa sesungguhnya ia telah membunuh sembilan puluh sembilan manusia, apakah masih diterima untuk bertaubat. Pendeta itu menjawab: “Tidak dapat.” Kemudian pendeta itu dibunuhnya sekali dan dengan demikian ia telah menyempurnakan jumlah seratus dengan ditambah seorang lagi itu.

Lalu ia bertanya lagi tentang orang yang teralim dari penduduk bumi, kemudian ditunjukkan pada seorang yang alim, selanjutnya ia mengatakan bahwa sesungguhnya ia telah membunuh seratus manusia, apakah masih diterima taubatnya. Orang alim itu menjawab: “Ya, masih dapat. Siapa yang dapat menghalang-halangi antara dirinya dengan taubat itu. Pergilah engkau ke tanah begini-begini, sebab di situ ada beberapa kelompok manusia yang sama menyembah Allah Ta’ala, maka menyembahlah engkau kepada Allah itu bersama-sama dengan mereka dan janganlah engkau kembali ke tanahmu sendiri, sebab tanahmu adalah negeri yang buruk.” Orang itu terus pergi sehingga di waktu ia telah sampai separuh perjalanan, tiba-tiba ia didatangi oleh kematian. Kemudian bertengkarlah untuk mempersoalkan diri orang tadi malaikat kerahmatan dan malaikat siksaan (yakni yang bertugas memberikan kerahmatan dan bertugas memberikan siksa), malaikat kerahmatan berkata: “Orang ini telah datang untuk bertaubat sambil menghadapkan hatinya kepada Allah Ta’ala.” Malaikat siksaan berkata: “Bahwasanya orang ini sama sekali belum pernah melakukan kebaikan sedikitpun.” Selanjutnya ada seorang malaikat yang mendatangi mereka dalam bentuk seorang manusia, lalu ia dijadikan sebagai pemisah antara malaikat-malaikat yang berselisih tadi, yakni dijadikan hakim pemutusnya -untuk menetapkan mana yang benar. Ia berkata: “Ukurlah olehmu semua antara dua tempat di bumi itu, ke mana ia lebih dekat letaknya, maka orang ini adalah untuknya- maksudnya jikalau lebih dekat ke arah bumi yang dituju untuk melaksanakan taubatnya, maka ia adalah milik malaikat kerahmatan dan jikalau lebih dekat dengan bumi asalnya maka ia adalah milik malaikat siksaan.” Malaikat-malaikat itu mengukur, kemudian didapatinya bahwa orang tersebut adalah lebih dekat kepada bumi yang dikehendaki -yakni yang dituju untuk melaksanakan taubatnya. Oleh sebab itu maka ia dijemputlah oleh malaikat kerahmatan.” (Muttafaq ‘alaih)

Dalam sebuah riwayat yang shahih disebutkan demikian: “Orang tersebut lebih dekat sejauh sejengkal saja pada pedesaan yang baik itu- yakni yang hendak didatangi, maka dijadikanlah ia termasuk golongan penduduknya.” Dalam riwayat lain yang shahih pula disebutkan: Allah Ta’ala lalu mewahyukan kepada tanah yang ini -tempat asalnya- supaya engkau menjauh dan kepada tanah yang ini -tempat yang hendak dituju- supaya engkau mendekat -maksudnya supaya tanah asalnya itu memanjang sehingga kalau diukur akan menjadi jauh, sedang tanah yang dituju itu menyusut sehingga kalau diukur menjadi dekat jaraknya. Kemudian firmanNya: “Ukurlah antara keduanya.” Malaikat-malaikat itu mendapatkannya bahwa kepada yang ini -yang dituju- adalah lebih dekat sejauh sejengkal saja jaraknya. Maka orang itupun diampunilah dosa-dosanya.” Dalam riwayat lain lagi disebutkan: “Orang tersebut bergerak -amat susah payah karena hendak mati- dengan dadanya ke arah tempat yang dituju itu.”

Kisah tiga orang terkurung dalam gua

Dari Abu Abdur Rahman, yaitu Abdullah bin Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhuma, katanya: Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Ada tiga orang dari golongan orang-orang sebelummu sama berangkat berpergian, sehingga terpaksalah untuk menempati sebuah gua guna bermalam, kemudian merekapun memasukinya. Tiba-tiba jatuhlah sebuah batu besar dari gunung lalu menutup gua itu atas mereka. Mereka berkata bahwasanya tidak ada yang dapat menyelamatkan engkau semua dari batu besar ini melainkan jikalau engkau semua berdoa kepada Allah Ta’ala dengan menyebutkan perbuatanmu yang baik-baik. Seorang dari mereka itu berkata: “Ya Allah. Saya mempunyai dua orang tua yang sudah tua-tua serta lanjut usianya dan saya tidak pernah memberi minum kepada siapapun sebelum keduanya itu, baik kepada keluarga ataupun hamba sahaya. Kemudian pada suatu hari amat jauhlah saya mencari kayu -yang dimaksud daun-daunan untuk makanan ternak. Saya belum lagi pulang pada kedua orang tua itu sampai mereka tertidur. Selanjutnya sayapun terus memerah minuman untuk keduanya itu dan keduanya saya temui telah tidur. Saya enggan untuk membangunkan mereka ataupun memberikan minuman kepada seorang sebelum keduanya, baik pada keluarga atau hamba sahaya. Seterusnya saya tetap dalam keadaan menantikan bangun mereka itu terus-menerus dan gelas itu tetap pula di tangan saya, sehingga fajarpun menyingsinglah, anak-anak kecil sama menangis karena kelaparan dan mereka ini ada di dekat kedua kaki saya. Selanjutnya setelah keduanya bangun lalu mereka minum minumannya. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan keridhaanMu, maka lapanglah kesukaran yang sedang kita hadapi dari batu besar yang menutup ini.” Batu besar itu tiba-tiba membuka sedikit, tetapi mereka belum lagi dapat keluar dari gua. Yang lain berkata: “Ya Allah, sesungguhnya saya mempunyai seorang anak paman wanita -jadi sepupu wanita- yang merupakan orang yang tercinta bagiku dari sekalian manusia -dalam sebuah riwayat disebutkan: Saya mencintainya sebagai kecintaan orang-orang lelaki yang amat sangat kepada wanita- kemudian saya menginginkan dirinya, tetapi ia menolak kehendakku itu, sehingga pada suatu tahun ia memperoleh kesukaran. Iapun mendatangi tempatku, lalu saya memberikan seratus duapuluh dinar padanya dengan syarat ia suka menyendiri antara tubuhnya dan antara tubuhku -maksudnya berhubungan intim. Ia berjanji sedemikian itu. Setelah saya dapat menguasai dirinya -dalam sebuah riwayat lain disebutkan: Setelah saya dapat duduk diantara kedua kakinya- sepupuku itu lalu berkata: “Takutlah engkau pada Allah dan jangan membuka cincin -maksudnya cincin di sini adalah kemaluan, maka maksudnya ialah jangan melenyapkan kegadisanku ini- melainkan dengan haknya -yakni dengan perkawinan yang sah-, lalu sayapun meninggalkannya, sedangkan ia adalah yang amat tercinta bagiku dari seluruh manusia dan emas yang saya berikan itu saya biarkan dimilikinya. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian dengan niat untuk mengharapkan keridhaanMu, maka lapangkanlah kesukaran yang sedang kita hadapi ini.” Batu besar itu kemudian membuka lagi, hanya saja mereka masih juga belum dapat keluar dari dalamnya. Orang yang ketiga lalu berkata: “Ya Allah, saya mengupah beberapa kaum buruh dan semuanya telah kuberikan upahnya masing-masing, kecuali seorang lelaki. Ia meninggalkan upahnya dan terus pergi. Upahnya itu saya perkembangkan sehingga bertambah banyaklah hartanya tadi. Sesudah beberapa waktu, pada suatu hari ia mendatangi saya, kemudian berkata: Hai hamba Allah, tunaikanlah sekarang upahku yang dulu itu. Saya berkata: Semua yang engkau lihat ini adalah berasal dari hasil upahmu itu, baik yang berupa unta, lembu dan kambing dan juga hamba sahaya. Ia berkata: Hai hamba Allah, janganlah engkau memperolok-olokkan aku. Saya menjawab: Saya tidak memperolok-olokkan engkau. Kemudian orang itupun mengambil segala yang dimilikinya. Semua digiring dan tidak seekorpun yang ditinggalkan. Ya Allah, jikalau saya mengerjakan yang sedemikian ini dengan niat mengharapkan keridhaanMu, maka lapangkanlah kita dari kesukaran yang sedang kita hadapi ini.” Batu besar itu lalu membuka lagi dan merekapun keluar dari gua itu. (Muttafaq ‘alaih)

Keterangan:

Ada beberapa kandungan yang penting-penting dalam hadits di atas, yaitu:

  1. Kita disunnahkan berdoa kepada Allah di kala kita sedang dalam keadaan yang sulit, misalnya mendapatkan malapetaka, kekurangan rezeki dalam kehidupan, sedang sakit dan lain-lain.

  2. Kita disunnahkan bertawassul dengan amal perbuatan kita sendiri yang shalih, agar kesulitan itu segera lenyap dan diganti dengan kelapangan oleh Allah Ta’ala. Bertawassul artinya membuat perantaraan dengan amal shalih itu, agar permohonan kita dikabulkan olehNya. Bertawassul dengan cara seperti ini tidak ada seorang ulamapun yang tidak membolehkan. Jadi beliau-beliau itu sependapat tentang bolehnya. Juga tidak diperselisihkan oleh para alim-ulama perihal bolehnya bertawassul dengan orang shalih yang masih hidup, sebagaimana yang dilakukan oleh Sayidina Umar r.a. dengan bertawassul kepada Sayidina Abbas, agar hujan segera diturunkan. Yang diperselisihkan ialah jikalau kita bertawassul dengan orang-orang shalih yang sudah wafat, maksudnya kita memohonkan sesuatu kepada Allah Ta’ala dengan perantaraan beliau-beliau yang sudah di dalam kubur agar ikut membantu memohonkan supaya doa kita dikabulkan. Sebagian alim-ulama ada yang membolehkan dan sebagian lagi tidak membolehkan. Jadi bukan orang-orang shalih itu yang dimohoni, tetapi yang dimohoni tetap Allah Ta’ala jua, tetapi beliau-beliau dimohon untuk ikut membantu mendoakan saja. Kalau yang dimohoni itu orang-orang yang sudah mati, sekalipun bagaimana juga shalihnya, semua alim-ulama Islam sependapat bahwa perbuatan sedemikian itu haram hukumnya. Sebab hal itu termasuk syirik atau menyekutukan sesuatu dengan Allah Ta’ala yang Maha Kuasa Mengabulkan segala permohonan. Namun demikian hal-hal seperti di atas hanya merupakan soal-soal furu’iyah (bukan akidah pokok), maka jangan hendaknya menyebabkan retaknya persatuan kita kaum Muslimin.