Tebal dan tidak transparan
Salah satu syarat sah sholat adalah menutup aurat. Bisa dipastikan, jika auratnya tidak tertutup sempurna, maka sholatnya menjadi tidak sah. Menutup aurat pun ada syaratnya, yaitu tebal dan tidak transparan. Syarat ini berlaku juga pada pakaian keseharian yang digunakan oleh muslimah pada saat keluar rumah. Penutup aurat yang digunakan mempunyai syarat, yaitu bahannya tebal dan tidak transparan.
Suatu masa, di masjid kampus. Setelah menggunakan mukena, Icha hendak melepaskan kaos kakinya. Aksi itu seketika digagalkan oleh Imtinan.
“Cha, mendingan kaos kakinya ga usah dilepas aja deh”, Imtinan memberi saran.
“Lho, emang kenapa, Im?”, begitu alasan yang diberikan oleh Icha.
“Coba deh perhatikan mukenanya. Tipis dan transparan”.
“Tapi kan mukena ini sering dipake orang, Im. Banyak yang pake kok pas sholat, memudahkan juga pada saat travelling”, Icha menjelaskan.
“Banyak yang pake belum berarti benar, sedangkan yang benar belum banyak yang pake”, Imtinan meluruskan.
“What do you mean, Im?”
“Bukan berarti dengan label mukena travelling, bisa dibawa kemana-mana karena praktisnya maka seketika dia sudah berlaku menjadi penutup aurat yang benar ketika sholat. Kaidah syar’i menutup aurat belum terpenuhi, Cha”.
“Maksudnya gimana?”
“Bahan yang digunakan untuk menutup aurat itu merupakan bahan yang tebal sehingga dapat menyembunyikan warna kulit dan juga tidak menjelaskan sifatnya. Jika bahannya tipis atau tenunannya jarang-jarang, sehingga dapat menampakkan apa yang ada disebaliknya atau menggambarkan warna kulitnya, maka sholatnya tidak sah[1]”.
Penjelasan Imtinan berdasar pada pendapat ulama madzhab Syafi’i yang menyatakan bahwa syarat penutup aurat adalah sesuatu yang tidak menjelaskan warna kulit, begitu pun dengan ulama madzhab Maliki, tetapi menurut ulama madzhab ini jika hanya mensifatkan apa yang ada dibawahnya, maka hukumnya makruh1.
Imtinan mengarahkan mukena Icha ke arah cahaya, “Tuh kan, Cha. Bahan ini menerawang sebab kita masih bisa lihat apa yang ada dibalik mukena ini”.
Lalu Imtinan menempelkannya ke kulit Icha,”Nah, warna kulitmu masih terlihat. Bisa dibayangkan kalau kamu posisi sujud dan duduk tasyahud maka warna kulit kakimu masih bisa terlihat, Cha”.
Icha bertanya lagi,”Kan kaos kakiku kotor, Im?”
“Tak mengapa”, Imtinan menjawab.
Dulu, Ummu Salamah pernah ditanya oleh seorang perempuan, “Pakaian saya sangat panjang, lalu saya berjalan di tempat yang kotor. Ummu Salamah berkata, “Rasulullah pernah bersabda: Pakaian itu akan disucikan oleh debu yang mengenainya setelah kotoran itu” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
“Jadi ga papa nih kaos kakinya dipake?”, Icha memastikan.
“Iya, ga papa. Dipake aja”, Imtinan meyakinkan.
“Serius nih yaa ga papa”, Icha kembali memastikan.
“Insya Allah, Icha sholihaaah. Kalau ingin lebih yakin lagi, lebih baik cari mukena yang memenuhi syarat gih”, Imtinan memberikan saran lain sembari tersenyum.
Matahari semakin meninggi.
[1] Fiqh Islam wa Adillatuhu, Prof. DR. Wahbah Az Zuhaili, hal. 615