Arti Filsafat
Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, ”philosophia”, gabungan kata philos dan sophia. Philos bermakna cinta atau suka, sementara sophia bermakna kebijaksanan, kearifan atau juga pengetahuan (love of wisdom). Dengan demikian filsafat bermakna cinta kebijaksanaan dan cinta pengetahuan (Djamaris, 2011; Rapar, 1995). Kata philosophia dikemukakan Phytagoras, filsuf Yunani pada Abad ke-6 SM, untuk menggambarkan dirinya sebagai pencinta kebijaksanaan atau pencinta pengetahuan.
Terdapat pelbagai ungkapan tentang makna hakiki filsafat. Socrates mendefinisikan filsafat sebagai proses mempertanyakan tentang hakikat alam dan berupaya menjawabnya dengan menggunakan logos/rasio ketimbang mitos. Plato mendefinisikan filsafat sebagai kajian tentang sebab-musabab yang hakiki dari segala sesuatu yang ada. Aristoteles memaknai filsafat sebagai upaya mencari prinsip-prinsip dan penyebab-penyebab bagi berbagai realita yang ada. Sebagai sintesis dari semua definisi ini, Suriasumantri (2009) menyatakan bahwa salah satu makna filsafat yaitu suatu cara berpikir yang radikal dan menyeluruh, cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Lebih jauh Djamaris (2011) menyatakan bahwa makna hakiki dari filsafat ialah cara mencari kebenaran melalui pengamatan dan berpikir secara kritis, terbuka, toleran, tanpa prasangka, dan bebas dari mitos. Berfilsafat pada hakikatnya adalah berpikir secara mendasar (radikal), menyeluruh (komprehensif), dan spekulatif (Rapar, 1995).
Perkembangan Filsafat
Ada empat hal yang melahirkan filsafat, yakni ketakjuban (keheranan) terhadap alam sekitar, ketidakpuasan atas jawaban mitos terhadap gejala alam, hasrat bertanya manusia untuk mempertanyakan segalanya, serta keraguan terhadap jawaban yang ada seraya ingin memperoleh jawaban yang lebih benar (Rapar, 1995). Dalam sejarah perkembangan pengetahuan, aktivitas berfilsafat para filsuf Yunani tentang alam melahirkan pemikiran-pemikiran hakiki tentang alam, seperti halnya Tales mengatakan bahwa asas pertama alam semesta itu ialah air, sementara Anaximenes mengatakan bahwa bahwa udara sebagai asas pertama. Selanjutnya Empedokles menyimpulkan bahwa akar segala sesuatu yang membentuk realita alam ada empat, yakni api, udara, tanah, dan air.
Peranan Filsafat
Sejak kelahirannya filsafat memainkan tiga peran utama dalam sejarah perkembangan manusia, yakni pembebas dan pembimbing (Rapar, 1995). Filsafat dengan sifat rasionalnya telah membebaskan manusia dari belenggu terhadap intelektualitas manusia sebagai akibat dari kepercayaan terhadap mistis, mitos, dan tahayul yang mentradisi. Filsafat membebaskan manusia dari cara berpikir yang tidak sistematis dan tidak jernih dan cara berpikir yang tidak kritis dalam menerima kebenaran-kebenaran semu. Filsafat membimbing manusia untuk mengembangkan cara berpikir integral (menyeluruh), kritis, analitis, dan logis.
Dalam konteks perkembangan ilmu, Suriasumantri (2009) menganalogikan filsafat sebagai pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Filsafat menyediakan pijakan bagi ilmu untuk berkembang. Itulah sebabnya filsafat sering disebut sebagai induk-segala-ilmu (mater scientiarum) (Rapar, 1995). Ilmu-ilmu alam berkembang dari filsafat alam (natural philosophy). Issac Newton menyatakan hukum-hukum fisika yang ditemukannya sebagai Philosophiae Naturalis Principia Mathematica.
Sebagaimana yang kita amati, ilmu dan aplikasinya dalam teknologi semakin pesat perkembangnnya, jauh meninggalkan filsafat sebagai induknya. Namun demikian, bukan berarti filsafat di masa kini tidak berguna. Filsafat senantiasa mempertanyakan hal-hal yang tidak dikaji ilmu, yakni hakikat seluruh realita. Selain itu karena sifat kajiannya yang mendasar dan menyeluruh, filsafat dipandang mampu mengevaluasi dan mengoreksi asas dan praksis ilmu serta penerapannya dalam teknologi.
Cabang-Cabang Filsafat
Suriasumantri (2009) menyatakan bahwa bahan kajian filsafat pada dasarnya meliputi empat aspek, yakni: Apa yang benar dan apa yang tidak benar, yang melahirkan logika (logic); Mana yang baik mana yang buruk, yang melahirkan etika (ethics); Apa yang termasuk indah mana yang termasuk jelek, yang melahirkan estetika (aesthetics); Apa hakikat keberadaan, yang melahirkan metaphysics (metafisika). Percabangan berikutnya dari filsafat terjadi karena kajian-kajian filsafat yang lebih spesifik, seperti filsafat ilmu, filsafat matematika, filsafat pendidikan, dll. Dalam konteks filsafat ilmu, terdapat tiga unsur pokok, yakni epistemologi (teori pengetahuan), ontologi (teori keberadaan obyek ilmu), dan aksiologi (teori penggunaan ilmu).
Epistemologi (episteme = pengetahuan; logos = ilmu) ialah cabang filsafat yang bertalian dengan teori pengetahuan, yang meliputi sumber, penemuan, kesahihan, limitasi pengetahuan. Metafisika (disebalik fisika) adalah kajian fisafat yang mendasar dan komprehensif mengenai seluruh realita atau tentang keberadaan (segala sesuatu yang ada, atau being), yang mencakup metafisika umum (ontologi) dan metafisika khusus (a.l. kosmologi, teologi). Logika berkenaan dengan kaidah-kaidah formal inferensi (penyimpulan) untuk mencapai kebenaran secara rasional, antara lain silogisme.
Metode-Metode Filsafat
Sejarah filsafat menunjukkan para filsuf mengembangkan berbagai (tidak tunggal) metode kajian filsafat yang meraih kebenaran (Rapar, 1995), a.l.: Metode Socrates (Dialektis kritis induktif), Metode Plato (Deduktif spekulatif), Metode Aristoteles (Silogistis deduktif), Metode Descartes (Skeptis), Metode Bacon (Induktif).
Socrates yakin bahwa pengetahuan akan kebenaran obyektif tersimpan dalam jiwa setiap orang. Oleh sebab itu Socrates menggunakan metode dialog dengan orang-orang, yang dari dialog-dialog itu ia melihat kebenaran-kebenaran invidual yang bersifat universal. Ia meletakkan dasar berpikir induktif dan dialektika (tesis—antitesis—sintesis). Plato (murid Socrates) mengelaborasi metode dialog dengan membaginya ke dalam tiga fase, yakni fase dialog awal sebagai penyelidikan (inquiry), fase dialog pertengahan sebagai spekulasi pemikiran, dan fase dialog akhir yang disebut fase kritik, penilaian, dan aplikasi.
Aristoteles menyatakan ada dua metode yang dapat dipakai untuk menarik kesimpulan yang benar, yaitu metode induktif (menarik kesimpulan yang bersifat umum dari hal-hal khusus) dan metode deduktif (menarik kesimpulan khusus dari hal-hal yang bersifat umum). Induksi berangkat dari observasi, sedangkan deduksi terlepas dari pengamatan/pengalaman. Baik induksi maupun deduksi menggunakan logika (Aristoles adalah pelopor logika, yang pada mulanya ia sebut analitika). Landasan logika deduktif adalah silogisme, menarik kesimpulan yang benar berdasarkan premis-premis yang benar.
Bagi Rene Descartes kebenaran yang dapat membentuk pengetahuan baru haruslah berpangkal pada sesuatu yang kepastiannya benar-benar tidak dapat disangksikan. Oleh sebab itu untuk memastikan sesuatu itu benar, terlebih dahulu kebenaran itu harus disangsikan/diragukan kebenarannya. Apabila kebenaran sanggup bertahan dari keraguan-keraguan, maka kebenaran itu merupakan kebenaran yang pasti. Descartes terkenal dengan adagium yang dikemukakannya: “Aku Berpikir Maka Aku Ada” (Latin: Cogito Ergo Sum). Manusia harus menjadi pangkal pemikiran rasional untuk mencapai kebenaran yang pasti.
Francis Bacon memperbaiki metode induksi tradisional (induction by simple enumeration) dengan metode induksi baru yang lebih dapat dipertanggungjawabkan, yakni penggabungan metode induksi tradisional dengan observasi yang intensif dan eksperimentasi yang cermat untuk mencapai kebenaran ilmiah, praktis, dan bermanfaat.
Referensi
Djamaris, M. (2011). Ilmu, filsafat, dan filsafat ilmu. Dalam S. A. Akhadiah & W. D. Listyasari, Filsafat ilmu lanjutan (hlm. 101-131). Jakarta: Kencana.
Rapar, J. H. (1995). Pengantar filsafat. Jakarta: Kanisius
Suriasumantri, J. S. (2009). Tentang hakekat ilmu. Dalam J. S. Suriasumantri (Ed.) Ilmu dalam perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Suriasumantri, J. S. (2009). Filsafat ilmu: Sebuah pengantar popular. Jakarta: Pustakan Sinar Harapan.
Sumber:
FILSAFAT: PENGANTAR SINGKAT
[Bahan Kuliah Filsafat Ilmu]
Harry Firman
FPMIPA UPI